Kerja Di Kereta

Sebagai pengguna CommuterLine, keputusan Microsoft membenamkan keluarga Office365 di iPad tentu saja sungguh menggembirakan.  Yeah, sejak mengakrabkan diri dengan skripsi mau nggak mau Office menjadi salah satu aplikasi wajib yang ada di komputer sih. Apalagi sekarang, sebagai orang kantoran anak ahensi yang nggak jarang harus kerja remote termasuk di dalam CommuterLine XD Office for iPad bisa diunduh gratis, tapi katanya sih cuma buat preview. 

Pengalaman saya, ketika akhirnya memutuskan menjadi salah satu dari dua juta pengunduh Office for iPad di pekan pertamanya, ternyata saya bisa dapat full access untuk mengutak-atik aplikasi ini. Lho? Kok bisa?

Jadi gini, usai melakukan instalasi di iPad lewat iTunes hal pertama yang musti dilakukan adalah login menggunakan akun Microsoft kita dan voila! Semua yang biasa saya lakukan di netbook dengan mudahnya bisa dikerjakan di iPad \o/ Senang!

Office for iPad bisa ngapain aja? Dengan kelengkapan standar berupa Word Doc, Excel, dan PowerPoint rasanya cukuplah buat saya.
 
Sistem cloud computing yang diterapkan di Office365 ini juga mempermudah para pekerja remote dalam menyelesaikan semua urusan terkait pekerjaannya. Saya cukup mengakses Office365 via OneDrive memanfaatkan WiFi yang bertebaran di stasiun (atau kalau perlu banget ya tethering, modal dikit cyint!)  untuk kemudian digarap secara offline.

Dengan biaya hanya seratus ribu rupiah per bulan rasanya nggak mungkin deh kalian nggak sanggup beli aplikasi yang lisensinya bisa digunakan untuk lima devices.  Kalau masih kemahalan, ada Office365 Personal seharga lima puluh ribuan saja per bulan yang bisa digunakan untuk dua devices: PC/netbook/notebook dan tablet.  Kalau mau coba-coba dulu alias free trial bisa ke sini ya. Hati-hati ketagihan 8D. 

Tips buat yang mau kerja pake Office for iPad: pastikan baterai iPad terisi penuh, tapi jangan gunakan device ketika CommuterLine dalam kepadatan tertinggi ya. Mendingan melipir dulu ke peron atau kantin sambil nyeruput kopi deh biar lebih leluasa.

Senam Di CommuterLine

Berdiri terus-menerus di CommuterLine memang bikin pegel sih. Wajar kalau kursi di kereta dingin ini jadi rebutan. Padahal kalau kamu tau manfaat di balik berlama-lama berdiri, ada 70 kalori yang terbakar untuk durasi setidaknya 30 menit (yang nanya kenapa saya gak gemuk-gemuk walaupun makan banyak, bisa jadi ini adalah salah satu rahasianya).

Anyway, pengiklan di CommuterLine kayaknya tau banget keluhan kaki dan tangan yang mulai kaku-kaku karena kelamaan berdiri. Kamis malam lalu, saya menemukan "petunjuk" senam ringan di CommuterLine yang rupanya merupakan bagian dari iklan neurobion, brand yang menangani masalah saraf dan otot dengan kadar asam laktat berlebih itu. Senamnya gampang banget sih...


Tentu saja tips stretching ini agak sulit diterapkan kalau kepadatan 5-8 orang per meter persegi pijakan ya 8D 

PS: postingan ini bukan iklan sponsor lho, gambar dari Redy @deesign seperjalanan menuju Bogor 

Kursi Prioritas

Dari pagi tadi, timeline saya ramai oleh skrinsyut curhatan seorang perempuan pengguna CommuterLine yang misuh-misuh karena kenyamanannya duduk "dirampas" oleh seorang ibu hamil. Saya nggak tau apakah si mbak cantik yang identitas namanya ini diblur akhirnya memberikan kursi pada si bumil atau nggak. Yang pasti, butuh kesabaran berganda dan istigfar berkali-kali untuk menyelesaikan pisuhan yang kemudian ramai beredar di berbagai media sosial itu. Hebatnya lagi, pisuhan si mbak cantik diamini temannya dalam lingkaran path. 

Bukan cuma sekali dua saya mendengar (dan membaca) keluhan orang tentang ganasnya penumpang CommuterLine pada yang berhak atas kursi prioritas. Gak cuma terjadi di gerwani (gerbong wanita), melainkan juga gerbong ikhtilat alias gerbong campuran seperti disampaikan dalam sebuah laporan di detikcom ini.  Saya sendiri juga pernah sih melihat sendiri seorang cowok berbadan sehat nan kekar yang duduk manis di bangku prioritas demi berlekatan dengan sang pacar, sementara di depannya persis berdiri ibu hamil yang karena jenis pakaiannya longgar (jilbab dan jubah lebar) nggak menampakkan kehamilannya. Saya baru tau dia hamil setelah mengamati (dan curiga) lingkar perutnya yang menyembul. Syukurlah si cowok sehat yang duduk tadi akhirnya mau ngasih kursi.

Pengalaman berjibaku di CommuterLine, sepertinya empati paling sedikit dimiliki mereka yang dari segi usia tegolong remaja (dan mustinya masih pada bugar). Seperti mbak yang curhat di path itu, tadi pagi saya mendapati seorang mahasiswi cantik bertubuh bugar yang buru-buru menutup mata ketika seorang ibu dan anak naik. Biar lebih meyakinkan, si mahasiswi ini juga melengkapinya dengan batuk-batuk keras. Duh dek semoga dirimu bukan pengidap TB atau osteoporosis yang gak memungkinkan untuk berdiri lama ya.  

Ada juga yang terang-terangan menyuruh ibu hamil atau bawa balita untuk bergeser ke kursi prioritas (yang letaknya di ujung, dekat sambungan antar gerbong) karena ogah kenyamanannya terganggu.  Kalau sudah begini, rasanya pengen banget signage Kursi Prioritas" ditebarkan di seluruh penjuru gerbong deh.

Kalau dikalkulasi, sebetulnya durasi terlama berdiri di CommuterLine nggak akan melebihi lamanya konser musik kok. Lalu kenapa sebagian penumpang CommuterLine seperti ogah berbagi kursi ya? 

Gambar diambil dari blog ini




Dua Ibu, Dua Bayi, Dua Cerita

Tadi pagi, saya bersisian dengan seorang ibu yang sedang hamil dan menggendong bayi. Ibu itu, berdaster lusuh dengan warna pink dan motif jerapah. Penampilannya kumal, dan bau tidak enak yang sampai enam jam sesudahnya masih melekat di lobus olvactorius saya. Saya rasa 90% orang yang bertemu ibu ini akan yakin bahwa profesinya adalah pengemis yang beroperasi di sebuah kawasan di Jakarta. Tampilan ibu yang khas ini membuat saya ingat kalau saya pernah ketemu dengannya beberapa bulan lalu dalam keadaan hamil, gendong bayi, dan bawa anak balita >,<  

Ibu berdaster pink itu mengaku hamil anak kedelapan (lebih banyak dari anak kandung yang dilahirkan oleh ibu saya). Bolehkah saya curiga bayi dalam dekapannya bukan anak kandung si ibu daster pink itu? Sepanjang menanti kereta (yang telat lagi karena gangguan entah apa) si bayi sungguh anteng tidur tanpa suara. Ini sebetulnya mencurigakan ya? Dari obrolan si ibu berdaster pink dengan seorang penumpang lain (seorang ibu paruh baya yang menaruh perhatian pada kondisi kehamilan pleus bayi) yang menasihati supaya mencari pekerjaan lain demi si bayi, saya amati si ibu daster pink keliatan ogah-ogahan. Mungkin mengeruk belas kasihan lebih mudah dan menghasilkan ya? Mungkin...

Sampai ketika kereta akhirnya tiba. Si ibu daster pink cuek melangkah masuk bersama penumpang lain yang berjejalan (saya sendiri menghindari dan memilih naik kereta berikutnya demi keselamatan).  Gak kebayang gimana kondisi si bayi di dalam kereta...

Sementara itu, masih di jam yang kurang lebih sama, saya juga berkali-kali berpapasan dengan seorang ibu dengan bayinya juga. Si ibu muda yang ramah ini selalu naik jurusan Jakarta Kota, katanya sih mau ke rumah sakit karena bayi dalam gendongannya tampak terlihat beda dengan ukuran kepala yang lebih besar dari ukuran normal.  Rutin terapi mungkin.  Yang pasti, berbeda dengan si ibu berdaster pink yang juga membawa bayi, ibu dengan bayi berkepala besar ini akan dengan sabar menunggu kereta bisa diselipi dirinya + si bayi dengan leluasa. Supaya si bayi juga merasa nyaman dalam gendongan. 

Dan betul saja ketika saya berkesempatan sekereta dengan mereka (ibu + bayi berkepala besar itu) saya melihat wajah si ibu yang penuh sayang memeluk dan melindungi anaknya yang tampak "tidak sempurna" itu. Beda banget deh sama ibu berdaster pink... 

Tips Menghindari Penalti

Udah pada tau kan kalau CommuterLine menerapkan sistem penalti atau suplisi?

Suplisi alias denda 50ribu (setara dengan secangkir kopi hehehe... ) diterapkan jika kamu nggak bisa menunjukkan kartu THB ataupun KMT saat tap out ke luar stasiun. Jadi, hati-hati menjaga tiket. Buat yang pake KMT mungkin bisa disiasati dengan menggunakan kalung ala ala ID card orang kantoran kayak gini:


Sementara penalti, ini biasanya di-charge kalau kamu melakukan tap out di lokasi yang sama dengan tap out dalam rentang waktu minimal satu jam. Besarnya sih cuma 7ribu, tapi lumayan lho buat saldo perjalanan Bogor-Sudirman. Atau setara dengan teh dalam kemasan yang menyegarkan di cuaca panas kayak sekarang lah ... XD

Nah, sayangnya kebijakan penalti ini juga berlaku ketika ada gangguan CommuterLine seperti tadi pagi. Kerusakan pantograf menyebabkan perjalanan jalur Jakarta-Bogor PP terganggu, bisa dipastikan ratusan (atau mungkin ribuan) penumpang yang sebagian besar pekerja urban itu terusik perjalanannya. Termasuk saya tentunya. Berpeluh, dan tentu saja ketar ketir gak karuan. Dua jam lewat, akhirnya saya memutuskan untuk pindah moda transportasi yaitu angkot yang sudah pasti bakal makan waktu tempuh lebih lama (pleus panas!). Apa boleh buat daripada tak terangkut.

Saat tap out, otomatis saya dikenakan penalti. Ih, nggak enak banget ya. Udah kita dirugikan waktu kok masih dihukum potong saldo huhuhu... Untungnya, pas ngurus penalti di loket, petugasnya bilang bisa diklaim dengan menghubungi kantor staf. Wah! Dasar ogah rugi, saya pun mengurus ke TKP. Ternyata, menurut kru CommuterLine, untuk menghindari penalti (dalam kasus khusus kayak hari ini aja ya, jangan curang hehehe) pada saat tap out mustinya minta tolong petugas polsuska yang melakukannya. 

OK, tips tadi akan saya ingat, catat, dan bagikan ke kalian lewat blog ini. Tentu saja dengan harapan, gangguan semacam ini nggak terjadi lagi ya. Biar gimana pun, rasanya tetep lebih nyaman bepergian naik CommuterLine kan?